Pagi ini kenapa perasaanku tidak enak? Padahal matahari bersinar dengan terang, tapi ada apa dengan hatiku sekarang? Seperti ada sebuah lubang besar berada disana. “ji yong ah, aku sekarang pacaran sama lee na.” kalimat hyun joong selalu terngiang di telingaku. Ekspresinya yang berlebihan tadi malam membuatku ingin sekali menghajarnya. Dia sungguh terlihat bahagia dengan pacar barunya itu. Sekarang yang jomblo hanya diriku saja, bagaimana nasibku? Aku semakin terpuruk dengan kenyataan yang ada. Aku berjalan menyusuri trotoar dengan menundukkan kepala, seperti seorang prajurit yang kalah perang.
“ji yong ah, kamu jangan iri, ya.” Hyun joon mengatakan itu dengan wajah mengejek. Dasar si brengsek itu memang senang melihat temannya menderita. Aish, seandainya dia ada di hadapanku maka akan……
“ji yong ah… annyong.” Hyun joon memukul pundakku dengan seluruh tenaganya hingga membuatku terpental dan jatuh.
“iah, sakit tahu.” Seruku padanya, tapi dia tidak menghiraukan ucapanku. Dia malah melangkah tanpa memberikan bantuan~benar-benar dimabuk kasmaran.
“iahhhh, hyun joong.” Histeris bangkit berlari. Aku langsung menempel pada punggungnya, mengaitkan tangan kelehernya hingga membuatnya susah bernafas. “kamu tidak akan kulepaskan.” Bisikku tepat di telinganya. Bukannya dia malawan, tapi dia malah mengendongku. Aku merontah-rontah untuk diturunkan, tapi dia terlalu kuat memegangiku.
“sudah, diam saja kamu diatas sana.” Ujarnya datar.
“apa? lihat semua orang memandangi kita.” Seruku kemudian mengigit pundaknya. Dia mengerang kesakitan dan melepaskan pegangannya, lalu aku segera merosot dari punggungnya.
“iah, kenapa kamu mengigitku? Sakit tahu.” Hyun joong melotot padaku hingga membuat bola matanya ingin keluar.
“iah, salah sendiri. Akukan tidak mau dikatai orang, masa cowok gendong cowok.” Ujarku setengah berbisik.
“lalu kamu mau di gendong cewek.” Serunya.
“tidak.” Jawabku cepat-cepat.
“sudah, nanti kita terlambat ke sekolah. Apakah kamu tidak bosan di ceramahin ama Mr. taeyang tiap hari telat terus.” Cerocosnya.
“iya, iya.” aku menurut saja padanya daripada kami harus bertengkar lagi disini.
Sepanjang perjalanan, hyun joong tidak henti-hentinya bercerita tentang kencan pertama mereka. Seakan dunia ini adalah milik mereka berdua, yang lainnya hanya mengontrak. Sebel dengan ceritanya aku mengeluarkan ipodku lalu mendengarkan lagu favoriteku. Sepanjang jalan hyun joong terus saja mengoceh, padahal aku tidak mendengarkan apa yang dikatakannya padaku. Setiap mulutnya mengatup maka aku hanya mengucapkan ‘oh, terus.’ Setelah mendenger kata itu, maka dia akan terus bercerita tanpa titik dan koma. Dia seperti burung beo yang sedang berlatih bicara saja. Mengerikan.
***
Saat bel istirahat berbunyi, hyun joong dengan segera langsung berlari keluar kelas. Aku terdiam saat melihat punggungnya yang semakin jauh dariku. Aku duduk menyilang kaki, menulis beberapa kata diatas kertas putih. Aku mencoba mengurai kondisiku sekarang kesebuah kata-kata dan menuangkannya menjadi sebuah lirik lagu. Saat ke kehabisan kata-kata maka aku tanpa sadar akan mengigiti pencilku yang berwarna kuning. Aku sudah sering melakukannya, hingga hyun joong akan mengeluh jika menemukan pencilku penuh dengan bekas gigi di ujungnya. Membuatnya sedikit jijik.
Aku melempar pencilku keatas buku karena fikiranku tidak berkonsentrasi. Aku terus memandangi tulisan-tulisan itu lalu mencoret-coretnya hingga tak terlihat jelas tulisan apa yang ada disana. Aku kesal, benci dan semua bercampur menjadi satu. Aku tidak tahu gadis seperti apakah yang membuat hyun joong tergila-gila padanya hingga rela meninggalkan ku sekarang. Biasanya kami akan pergi makan siang bersama dan kemana-mana bersama. Tapi sekarang berbeda, dia sudah punya pacar. Merasa penasaran dengan gadis itu, aku bangkit dari kursi. Berjalan menuju kantin, karena kemungkinan mereka sekarang sedang makan bersama disana.
“ji yong ah…” seru hyun joon dari meja tengah. Aku lembai padanya, berjalan menuju meja mereka.
Dari kejauhan aku sedikit familiar dengan sosok gadis yang duduk dihadapan hyun joong. Aku sepertinya pernah melihatnya sebelumnya, tapi siapanya?
Aku berdiri tepat di samping sang gadis, tapi dia masih tetap menikmati spaghetti-nya. “lee na, kenalkan ini sahabat kecilku.” Hyun joong penuh semangat memperkenalkan aku pada sang pacar.
“hyaa, aku ini bukan anak kecil tahu.” Seruku karena tidak rela di panggil anak kecil, padahal beberapa bulan lagikan aku udah tujuh belas tahu.
“lee na, dia emang selalu seperti itu.” hyun joong mengedipkan salah satu matanya.
“lee na, sepertinya aku pernah dengar.” Gumanku memutar-mutar bola mataku.
“annyonghaseyo, choneun lee na imnida.” Dia bangkit berdiri dan menunduk padaku dengan hormat. Aku sesaat tertegun melihat wajahnya yang sepintas, dan saat kami saling berpandangan aku baru mengingat tentangnya.
“lee na, apakah kamu tidak mengingatku?” seruku kebingungan.
“aniyo, nuguseyo?” ujarnya bingung.
“hya, ji yong ah. Kamu kenal sama lee na?” seru hyun joong penuh heran.
“namamu park lee na-kan?” seruku menyakinkan.
“betul.” Jawabnya.
“iah, kamu dulu tinggal di busan-kan?”
“ne.” jawabnya semakin bingung.
“tapi katamu kamu dari new York, kamu tidak pernah bilang kamu tinggal di busan.” tuntut hyun joong.
“mian, aku lupa tentang masa laluku.” Ujarnya dengan wajah sedih.
“mwo?” histerisku hingga membuat semua mata tertuju padaku. “jwosohamnida.. jwoseohamnida.” Aku meminta maaf pada semua orang karena pandangan mata mereka sungguh menyeramkan, seolang ingin menerkamku seketika.
“apa? pantas saja kamu tidak ingat sama aku.” Ujarku mengecilkan suara.
“mian, tapi aku sungguh tidak mengingat apapun.” lee na semakin putus asa.
“baiklah, aku mengerti.” Aku kemudian duduk di sampingnya.
Mata hyun joong terus tertuju padaku, mungkin dia tahu tentang gadis yang sering kuceritakan padanya. Gadis kecil yang dulunya adalah sahabatku, tapi aku manyukainya. Apakah hyun joong menyadari kalau gadis kecil itu adalah lee na? semoga dia tidak sadar, diakan orangnya cuek dan tidak mau tahu tentang urusan orang lain. Jadi biarkan saja mereka bersama, lagipula lee na sudah tidak mengingatku lagi. Untuk apa aku terus menyimpan perasaan untuknya, haruskah aku mencari pacar juga? Sudahlah, biarkan semua berjalan seperti biasa. Seolah tidak pernah bertemu dengannya dan semua akan baik-baik saja. Aku pasti bisa melalui masa-masa sekarang~aku mencoba memberi kekuatan pada diriku sendiri.
“oh iya, ceritakan tentang kehidupanmu di new York.” Aku memecah keheningan yang tercipta.
“oh,” ujarnya kemudian terdiam kembali, “aku disana sekolah sampai tingkat high school junior, kemudian high schoolnya melanjut di sini.” Ujarnya.
“hah?” histerisku, “kamu sudah di sini sejak kelas satu?” aku merasa bodoh, karena tidak pernah bertemu dengannya selama ini. Walaupun sekolah ini memang besar, tapi aku masih tetap merasa bodoh sendiri.
“makanya, kalau istirahat itu jalan sekali-kali. Bukannya Cuma nulis aja kerjaanmu di kelas.” Sindir hyun joong.
“kamu suka nulis apa?” tanya lee na antusias.
“nulis lagu.” Aku belum sempat menjawab, hyun joong sudah menyambar. Membuatku menganga seperti ikan yang mau dikasih makan.
“benarkah, apakah kamu mau membuat lagu untukku.” Ujarnya tanpa malu-malu.
Aku dan hyun joong terperangah dengan ucapan lee na barusan, “aku tidak pernah lihat gadis yang mengatakan hal itu pada pria yang baru saja bertemu dengannya.” Gumanku.
“katamu kita sebelumnya sudah kenal, jadi ini bukan yang pertama dong.” Ia mengembangkan senyumnya selebar-lebarnya hingga membuat jangtungku berdetak kencang. Aku tak bisa mengendalikan perasaanku maka segera saja aku menyambar cola yang ada di hadapan hyun joong dan meneguknya hingga habis.
“hya… kenapa kamu menghabiskanya?” seru hyun joong mengeplak kepalaku dengan gelas tempat cola tersebut.
Aku mengelus-elus kepalaku, “aku haus tahu.”
“kamu juga boleh menghabiskan cola-ku asalkan kamu buatkan lagu untukku.” Dia lagi-lagi tersenyum padaku. Aku tak sanggup melihat senyum itu lalu diam-diam menarik nafas. “ya, buatin aku lagu.” Pintanya dengan wajah memelas.
“hya, ji yong ah. Sudah, buatkan saja dia lagu, karena kalau tidak dia akan seperti itu terus.” Jelas hyun joong.
Aku teringat waktu kecil, kalau permintaan lee na tidak di penuhi maka dia akan terus menuntut hingga keinginannya itu terpenuhi. Seperti sekarang, merengek dibuatkan lagu.
“baiklah, tapi tidak bisa besok. Aku sedang sibuk.” Ujarku datar.
“ji yong ah, gomawo.” serunya penuh kebahagian.
Aku tersenyum sendiri melihatnya seperti itu. Aku tak menyangka kalau sifatnya masih sama seperti waktu dulu. Walaupun dia sudah lupa padaku, kuharap ingatannya segera kembali dan kami dapat mengenang masa kecil kami berdua. Dan ku harap dia masih ingat dengan janji kami untuk menjadi suami istri di masa depan. Waktu masih kecil, kami sempat membuat janji. Sebenarnya itu hanyalah janji anak-anak, tapi untukku aku sungguh berharap itu bisa terpenuhi. Lee na anak yang cengeng itu selalu saja menangis saat segerombolan anak-anak senior mengganggunya. Karena aku adalah laki-laki, maka dengan berani aku akan melindunginya. Maka sewaktu dia menangis, dia mengatakan kalau dia hanya ingin menikah denganku, tidak dengan laki-laki lain. Kalau nggak salah itu umurku sekitar tujuh tahun. Semoga saja dia masih mengingat itu dan kembali padaku. Tapi sepertinya itu mustahil, dia sudah bersama dengan hyun joong. Aku tersadar dengan kenyataan yang ada, lee na cinta kecilku sudah menjadi milik hyun joong dan aku harus terima itu.
***
“chaaaa….” Seru hyun joong menunjukkan paper bag padaku. ‘tumben dia kasih hadiah buatku.” Batinku mengambilnya namun di tarik kembali olehnya. “bukan untukmu.” Hyun joong mengalihkan wajahnya, tersenyum sendiri seperti orang gila. Aku mendesah kecewa.
“ini.” dia kembali menyodorkan paper bag itu, tapi ku acuhkan. “iah, ini buatmu.” Dia tetap menyodorkan, dan kubiarkan. “ya sudahlah, ini untukku saja.” Dia kembali menarik tangannya, mungkin tangan pegal karena terlalu lama mengantung diudara.
“kamu fikir aku akan tertipu dengan akal bulus mu lagi.” Ketusku dingin.
“ya sudah, ini untukku.”hyun joong membuka paper bag itu kemudian terkejut. Aku tidak shock dengan ekspresinya yang berlebihan, dia sudah sering mengejekku. “hya, aku tidak tahu kalau lee na tahu kalau kamu suka sama G-Dragon.” Gumannya. “baru dibuatkan lagu saja sudah membelikanmu CD ini, wah baik benar sahabat kecilmu itu.” lanjutnya.
Aku shock mendengar ucapannya barusan, “jadi itu bukan dari kamu?” seruku merampas papar bag itu darinya.
“emang aku seromantis itu, memberikan kado untukmu.” Dia terus memegangi paper bag itu seolah tidak rela memberikannya padaku.
“hya, ini milikku.” Aku berteriak padanya.
“kamukan sudah menolaknya.” Serunya kembali.
“ini milikku.” Aku memanarik tas itu tapi masih tidak dilepas oleh hyun joong. “hya, hyun joong.” Seruku menarik kembali dan akhirnya terjadilah aksi tarik-menarik. Hyun joong juga belum rela memberikan milikku itu, dia dengan kekeh mempertahankannya seperti itu adalah miliknya. Aku kesal melihat tingkah hyun joong yang masih seperti anak-anak, lalu aku dengan tiba-tiba menarik tas itu dengan sekuat tenaga.
“kyaaaaa…….” Aku terlempar jauh. Saat aku menarik kuat-kuat tas itu, hyun joong dengan tiba-tiba juga melepaskannya hingga membuat tubuh terpental dan terjatuh diatas aspal.
“wahahahahaha…..” hyun joong menertawakan kebodohanku. Dia tertawa melihat diriku yang selalu saja dikalahkan olehnya, mempermainkanku dengan seenaknya.
“tega, banget sih.” Seru bangkit berdiri.
“makanya jangan terlalu bersemangat gitu dong.” Godanya kemudian kembali tertawa.
“aish, jincha.” Aku mengibas-ngibaskan celanaku dengan tangan.
“ji yong ah, gwenchana?” tanya tanpa dosa. Entah kenapa aku tidak bisa marah padanya, walaupun dia selalu mengerjain aku setiap hari. Melihat senyumnya selalu saja menenangkan hatiku. Hyun joong dan aku berteman sejak SMP, setelah aku pindah dari busan. Dia adalah teman pertamaku, yang telah menyelamatkan aku dari gangguan anak senior. Tapi sejak itu dia selalu saja mengerjain aku seperti anak bodoh yang bisa dipermainkan begitu saja. Terkadang kesal melihat tingkahnya yang masih seperti anak-anak, tapi dia selalu membuatku tertawa saat aku sedih.
“sudah, jangan mengangguku.” Aku menepis tangannya. “bagaimana mungkin lee na berpacaran dengan orang jahil seperti mu, sepertinya dia benar-benar ada gangguan dengan otaknya.” Gumanku sendiri.
“kenapa? kamu iri?” godanya.
“aniyo.” Jawabku cepat-cepat.
“ah,” hyun joong menyikutku “ aku tahu dia adalah cinta pertamamu” ujarnya kemudian. Aku menghentikan langkah kakiku, terdiam sesaat.
“bagaimana kamu tahu, bukankah aku tidak pernah memberitahu nama gadis itu.” ujarku termenung, seperti penjahat yang ketahuan.
“iah, di wajahmu itu tertulis jelas ‘lee na my first love’.” Serunya mengagetkanku. Ku fikir dia akan marah atau cemburu kalau mengatahui kalau gadis itu pernah mengisi hatiku. Walaupun sampai sekarang aku masih belum bisa mengeluarkannya dari lubuk hatiku yang terdalam. Namanya masih terukir jelas disana. Wajahnya pun demikian.
“kamu tidak marah.” Aku mendekatinya dengan kaki gemetar.
“tidak,” ujarnya tersenyum, “tapi tolong jangan berharap untuk kembali padanya, karena dia adalah milikku” kata-katanya seperti anak panah yang menancap dihatiku. Nadanya terdengar datar, tapi artinya begitu mengena di hati. Aku menahan nafas, memandangnya dengan tajam. “jangan salah paham, aku hanya tidak ingin melihatnya dengan cowok lain selain diriku. Kamu mengertikan maksudku.” Hyun joong berusaha untuk membuat hubungan kami tidak terganggu dengan kehadiran lee na diantara kami.
“apakah kamu fikir aku akan melakukan hal itu?” ujarku.
“hya, kamu itu lelaki normal dan lee na adalah cinta pertamamu. Jadi aku kuatir kalau seandainya kamu belum melupakannya sepenuhnya. Biasanya setan itu bisa muncul kapan saja, dan bila kamu tidak dapat mengatasinya maka kamu akan berbuat sesuatu yang tidak pernah kamu fikirkan sebelumnya.”
Hyun joong berusaha untuk memberikan penjelasan atas kecemasannya. Memang benar kata-katanya kalau aku belum benar-benar melupakannya, bahkan aku masih mengharapkannya walaupun tahu dia adalah pacar dari sahabatku sendiri.
“aku tahu.. aku tahu..” aku mengibas-ngibaskan tangan padanya.
“oke. Aku tahu kalau kamu adalah sahabat terbaikku, tidak mungkin kamu akan mengambilnya dariku.” Hyun joong merangkulku dan kembali berjalan. “tapi saat aku tidak ada, aku harap kamu menjaganya untukku.” Bisiknya, hingga membuatku merinding. Aku tidak tahu maksud dari kalimatnya barusan.
“apa maksudmu?”
“tidak apa-apa.” jawabnya enteng.
Kami sudah melalui jalan ini selama hampir lima tahun, sejak aku dan hyun joong mulai masuk high school junior.
“apa?” paksaku.
“bukan apa-apa.” serunya.
“hyaa, hyun joong. Apa kamu mau mati di tanganku.” Seruku saat dia berlari memasuki gerbang dan meninggalkan aku sendiri. Dia berjalan kearah lee na yang sedang berjalan menuju gedung sekolah.
“apa maksudnya?” aku mengaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.
Aku melihat mereka berjalan sambil bergandengan tangan, mereka terlihat serasi, hyun joong yang tampan dan memiliki tubuh tinggi terkadang membuatku iri padanya. Tidak menyangka kalau pacarnya adalah lee na, yang merupakan sahabat kecilku dulu. Aku bersenyum sendiri melihat kemesraan mereka, namun hati terasa teriris-iris.
Sepulang sekolah aku menyempatkan diri untuk mengucapkan terima kasih pada lee na atas hadiahnya. Hyun joong sedang sibuk mengurus kelas yang akan mengikuti lomba. Di sela-sela kesibukan, aku berlari diam-diam. Aku menoleh kebelakang, samping dan kemudian berjalan normal kembali. Aku takut kalau orang-orang akan mengatakan hal aneh bila aku menemui lee na. Apa kata orang, bisa-bisa mereka mengatakan pagar makan tanaman, padaku. Aish, jangan sampai dech aku melakukan hal bodoh itu. Benar kalau aku masih menyukai lee na, tapi aku masih tergolong manusia waras yang tak mungkin melakukan kebodohan itu.
Dari pintu aku mengintip, lee na masih duduk di kursinya. Dengan tangan menyanggah kepalanya. Wajahnya terlihat muram, berkali-kali dia menarik nafas kemudian menghembuskannya berlahan~kebiasaan yang masih sama. Aku mengendap-endap menghampirinya.
“dorrrr….” Aku mengagetkannya hingga membuatnya terlonjak dari kursinya.
“hyaaa, kamu mengangetkanku.” Serunya.
Aku nyengir kuda padanya, “mian.” Ucapku.
“sudahlah, aku lagi tidak mood nich.” Lee na kembali duduk di kursinya namun kepalanya tergeletak lemah diatas meja. Diam-diam aku memperhatikannya, “jangan melihatku seperti itu.” aku tersentak mendengarnya. ‘bagaimana dia tahu kalau aku melihatnya?’ batinku.
“apa kamu benar-benar tidak ingat denganku?” aku berusaha mencoba bertanya.
“sudah kubilang, aku benar-benar lupa.” Ujarnya setengah berbisik hingga aku harus menajamkan pendengarkan.
“jincha.” Ujarku.
Lee na mengangguk, “bagaimana kita bermain gunting batu kertas. siapa yang kalah disentil jidatnya.” Saranku.
‘semoga ini dapat mengingatkan tentang masa kecilnya.’ Batinku.
“oke.” Lee na mengangkat kepalanya, sebuah senyum terterah diwajahnya. Permainan ini sering kami mainkan sewaktu kecil. Dan kuharap dia mengingat hal itu dan secara berlahan ingatannya bisa kembali. Selama dua bulan terakhir ini aku sudah menceritakan tentang masa kecil kami, tapi sepertinya dia tidak dapat mengingat apapun juga.
Kami mulai memainkan gunting batu kertas, pertama aku yang kalah tapi selanjutnya akulah pemenangnya. Lee na minta ampun saat serangan-serangaku mengenai jidatnya yang tertutup poni, aku tak ragu-ragu untuk menyentilnya karena sudah lama aku merindukan hal ini. Aku terus saja menghujaninya dengan sentilan hingga jidatnya sekarang kemerah-merahan. Sebenarnya aku kasihan padanya, tapi aku tidak mungkin pura-pura kalah padanya, nanti dia curiga dan mendapati diriku yang pernah mencintainya.
“gunting batu kertas.” lee na bersemangat menunjukkan senjatanya dan ternyata akulah pemenangnya lagi.
“sini, sini.” Ujarku menyisihkan poninya.
Lee na menjauh, “andwae…” dia menutupi jidatnya yang merah, mungkin rasanya perih. “andwae, kenapa kamu tidak kasihan padaku sih?” gumannya.
“dalam permainan tidak boleh ada yang mengalah.” Ujarku mengambil ancang-ancang untuk melakukan serangan. Aku meniup-niup senjataku, “kesinikan keningmu.” Aku menarik tengkuknya dan secara reflex dia menutup kedua matanya. Aku tertegun melihat wajahnya yang begitu dekat, hembusan nafasnya mengenaiku dan dapat kurasakan. Aku menafan nafas seketika, dan terus memandanginya.
“apa yang kamu lakukan?” lee na mendadak membuka mata, aku tersentak dan mengambil posisi semula~duduk.
Aku salah tingkah sekarang, menatap wajahnya saja aku tak sanggup. “tidak apa-apa.”
“ji yong ah…” panggilnya.
Aku seperti terhipnotis oleh panggilannya, nada dan cara memanggilnya masih sama seperti dulu. Dengan berlahan aku mengangkat wajah dan menatapnya. Senyumnya kembali mengembang saat aku menoleh padaku, membuat jangtung berdetak tak karuan. Seperti ada sebuah genderang disana.
Cupp…
Bodoh, tanpa sadar aku menciumnya. Aku tak tahu harus berbuat apa-apa lagi, wajah lee na benar-benar marah. Dengan kaki gemetaran aku berlari menuju pintu namun….
“seperti inikah seorang ji yong yang aku kenal.” Ucapan hyun joong membantiku keras keatas tanah. Aku terdiam, kakiku semakin gemetaran.
“aku bisa jelaskan.” Ucapku meraih tangannya namun ditepis begitu saja olehnya.
“tidak perlu, aku fikir kamu masih seorang teman. Tapi lihat apa yang kamu lakukan pada lee na, kamu menciumnya di belakangku.” Dia sekarang terlihat beringas, tatapannya begitu tajam.
“sungguh, aku tak segaja.” Aku berusaha membuat alasan untuk kejadian ini.
“apa? bukankah kukatakan tadi pagi kalau kamu tidak perlu mendekatinya, aku tahu kalau kamu masih menyukainya makanya aku mengatakan hal itu. Aku benar-benar kecewa sama kamu.” Serunya.
“hyun joong ah, jongmal mianhe.” Aku terus meraih tangannya, tapi lagi-lagi ditepis.
“aku tidak mau melihat wajahmu lagi, pergi kamu dari hadapanku.” Serunya hingga membuatku ketakutan sendiri. Inilah pertama kali aku melihatnya semarah itu. Aku gemetar, aku ingin menangis karena kebodohanku menghancurkan persahabatan kami selama ini. “aku katakan pergi dari sini, dan jangan pernah bertemu denganku lagi.” Serunya kembali.
“hyun joong,” panggilku.
“jangan pernah sebut namaku dengan mulutmu itu, kamu bukalah temanku lagi. Kamu bukan ji yong yang aku kenal selama ini. kamu tidak mempunyai perasaan, apa kamu tidak sadar dengan yang kau lakukan?” serunya.
“aku bisa jelaskan.”
“jelaskan, bagaimana kamu menjelaskan semua ini? aku melihatmu dengan kedua mataku sendiri, lalu apa yang masih ingin kamu jelaskan.”
“aku benar-benar tidak sadar.” Bisiku.
“tidak sadar, bukankan sudah ku katakana kalau kamu harus menjauhi lee na. apakah kamu tidak mengerti dengan maksudku itu?”
“mian, jongmal mianhe.”
“jangan pernah menampakan dirimu dihadapanku, aku membencimu. JONGMAL MIWO.” Dua kata terakhir merobek seluruh hatiku. Persahabatanku mungkin akan berakhir disini.
Aku terdiam, aku tak tahu harus mengatakan apa lagi padanya. Lelah melihat diriku yang mematung, hyun joong menarik lee na meninggalkanku sendiri. Aku terperosot dilantai meratapi kebodohanku.
“bodoh, sungguh bodoh.” Aku memukuli kepalaku.
“kenapa aku melakukan hal bodoh itu, kenapa?” seruku pada ruangan yang kosong.
“aku sungguh menjadi seorang sahabat yang tidak baik, aku manusia terbodoh yang ada di dunia ini. aku… aku…” aku terus menyalahkan diriku sendiri. Aku tak tahu kenapa bisa kehilangan akal sehat barusan, harusnya aku dapat mengendalikan perasaanku sendiri. Bukannya melakukan hal bodoh barusan, pasti hyun joong akan membenciku dan tak mau melihatku lagi.
Dalam keputus asaan aku kembali berjalan menuju kelas, dan sekarang kelas sudah terlihat rapih dan cantik dengan berbagai hiasan yang dipasang. Aku mengambil tasku, melangkah keluar dan meninggalkan gedung sekolah. Selama perjalanan, aku mengingat setiap kalimat yang dilontarkan oleh hyun joong. Setiap kata-katanya seperti pisau yang merobek hatiku~sakit sekali.
“aku pantas menerima ini.” gumanku.
“semua salahku dan kebodohanku, semua yang dikatakan hyun joong memang benar, tidak seharusnya aku mendekati lee na. Aku sungguh bodoh.” Aku terus saja memukuli kepalu sambil berjalan. Aku sungguh tak mengerti dengan diriku sendiri sekarang ini. Aku fikir mengendalikan perasaan itu mudah, tapi ternyata sangat sulit sekali. Walaupun otak berkata lain, tapi hati tidak tahu bagaimana dapat melakukan kejahatan itu. Aku merasa menjadi seorang penjahat sekarang.
Dua bulan kemudian.
Sejak kejadian itu, hyun joong tidak pernah masuk sekolah. Sepertinya dia benar-benar tidak ingin bertemu denganku lagi. Aku datang kerumahnya untuk bertanya, tapi setiap kali aku berkunjung tidak ada orang disana. Sepertinya mereka sudah pindah, tidak ada kehidupan disana. Aku bertanya pada lee na, tapi setiap kali aku bertanya wajah selalu murung. Seperti ada sebuah beban berat di pundaknya. Tidak ada seorangpun yang mau memberitahuku tentang keberadaan hyun joong. Dalam keputus asaan aku hanya bisa menyalahkan diriku sendiri.
“ji yong ah,” suara lee na mengagetkanku. “aku mau bicara denganmu.” Wajahnya terlihat serius, dan aku mengikutinya ke taman belakang.
“kamu mau bicara apa?” tanyaku padanya.
Wajahnya terlihat sedih, “ada dua kabar, satu kabar bahagia satu kabar buruk. Kamu mau mendengar yang mana dulu.” tanyanya.
Aku kebingungan dengan pertanyaannya, “kabar baik.” Ujarku.
“aku sudah ingat masa laluku, semua yang kita lalui dimasa anak-anak aku sudah mengingatnya kembali. Bahkan janji kita waktu itupun aku sudah ingat.” Wajahku penuh kebahagian namun wajahnya terlihat murung.
“jincha.” Seruku.
“ne.” jawabnya dengan suara parauh seolah tidak senang dengan ingatannya yang kembali. Mungkin dia bingung mau memilih hyun joong atau diriku sekarang.
“kenapa wajahmu seperti itu? pasti kamu bingung mau mimilih siapa diantara aku dan hyun joong, ya.” Tanpa sadar aku mengutarakan gagasanku.
“bukan, tidak seperti itu.” wajahnya semakin sedih.
“lalu, kenapa kamu sedih seperti itu.” aku menyentuh lembut wajahnya, namun dia masih tetap membisu. Aku bingung dengan sikapnya sekarang, Wajahnya terlihat begitu sedih.
“ji yong ah,” panggilnya lirih.
“ne.” Sahutku.
“hyun joong...” mengucapakan nama itu membuatnya mengeluarkan air mata.
“ada apa dengannya?” tanyaku cemas.
“hyun joong, dia...” lee na menarik nafas dalam-dalam, “dia, dia dirumah sakit.” akhirnya air mata membajiri wajahnya.
Aku seperti tersambar oleh sebuah petir, aku mundur secara berlahan tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh lee na barusan. Aku terus mundur hingga akhirnya tubuhku menyandar kepada sebuah dinding.
“bohong, kamu pasti berbohong.” Seruku.
“ji yong ah, mianhe.” Air matanya semakin deras membanjiri wajahnya, tapi aku masih tidak percaya dengan semua yang dia katakan.
“dia pasti benci denganku, makanya tidak mau bertemu denganku lagi. Kalau dia sungguh tak mau bertemu denganku tidak apa-apa, asalkan kamu jangan membohongiku seperti ini. Mengatakan dia di rumah sakit adalah kebohongan belaka, iyakan.” Seruku tak dapat mengendalikan diri.
“aniya, jongmal jincha.” Serunya berusaha mendekatiku.
“tidak, hyun jonng baik-baik saja.” seruku menepis tangannya.
“ji yong ah, kita harus kerumah sakit.” bujuknya.
“tidak, aku tidak mau ketemu dengannya sebelum dia memaafkan aku.”
“ji yong ah...”
“shireo.” Seruku kembali.
“ji yong ah!!!!.” Bentaknya padaku. “hyun joong tak bisa bertahan lagi, kita harus kerumah sakit. dia sudah lama mempunyai penyakit liver dan kata dokter dia tidak bisa bertahan lagi.”
Mendengar kalimat itu seperti hukuman untukku, aku yang merupakan sahabatnya sejak smp tidak mengetahui apapun tentangnya. Aku fikir dia akan selalu baik-baik saja, dengan wajahnya seperti itu aku tidak tahu kalau dia sedang sakit.
“mwo?” lirihku.
“kita harus kerumah sakit, sekarang.” Lee na menarik tanganku. Aku tak dapat menolaknya, aku terus mengikutinya terus berjalan menuju rumah sakit yang tak jauh dari sekolah kami. Semua kenangan akan hyun joong kembali berputar-putar dalam otakku. Aku menangis, aku sungguh menangis seperti anak kecil yang ditarik pergi oleh ibunya. Aku tak tahu kenapa ini terjadi, air mataku seolah tak mau berhenti mengalir. Aku semakin merasa bodoh dengan kejadian ini, sungguh membuatku menjadi manusia terbodoh di dunia.
Sampai di depan rumah sakit, aku dan lee na mempercepat langkah saat melihat beberapa medis menuju sebuah ruang pasien. Lee na berlari, sedangkan aku dipenuhi ketakutan.
“bibi, apa yang terjadi.” Lee na bertanya pada mama hyun joong yang berdiri di samping ranjang.
“lee na, hyun joong telah pergi.” ucap ibu hyun joong bercucuran air mata. Aku membatu di depan pintu kamar. “ji yong ah, kesini.” Ajak ibu hyun joong.
Nyonya kim memelukku dengan erat seperti memeluk anaknya sendiri. Aku terdiam dalam pelukannya dan tak dapat mengatakan sepatah katapun. Dalam persekian menit aku hanya diam, tak dapat bergerak seperti patung. Air mata nyonya kim membanjiri seragamku, hangatnya air matanya begitu membakar kulitku. Isak tangisnya terdengar begitu sedih seperti sebuah lagu yang tak berjudul. Aku memcoba mencerna semua yang terjadi sekarang, aku berharap ini adalah mimpi. Aku menutup kedua mataku, menutup pendengaran hingga tak terdengar semua isak tangis dalam ruangan ini. Dan dalam pemandanganku, aku melihat hyun joong sedang berjalan berdua dengan lee na di depan sekolah. Membuatku tersenyum sendiri, tapi saat pendangaranku kembali bekerja. Semua isak tangis kembali terdengar, dan secara berlahan aku membuka mata dan melihat keramaian ruangan yang dipenuhi oleh dokter dan para perawat. Nyonya kim masih terus mendekapku dalam pelukannya, sedangkan lee na berdiri tepat disamping hyun joong sambil menangis.
Berlahan aku melepas dekapan nyonya kim, lalu menghampiri sosok hyun joong yang berbaring lemah di ranjangnya. Wajahnya pucat pasi, semua katampanannya masih terlihat jelas. Namun warna kulitnya terlihat begitu pucat tak bercahaya seperti biasa. Aku terdiam melihat wajahnya, dan tanpa sadar sebuah air mata menetes dari kelopak mataku mengenai wajahnya. Aku menghapusnya dengan lembut, berharap kalau hyun joong akan bangun dari tidurnya.
“hyun joong ah.” Panggilku, “bangun kamu, apa kamu masih terus bermain denganku? Cepat kamu bangun, jangan seperti ini.” aku tersenyum miris melihat sosoknya yang tak berdaya.
“ji yoong ah, dia sudah pergi.” lee na menyentuh lembut pundakku.
“belum, pasti dia hanya bercanda. Aku kenal baik dengannya.” Aku masih berusaha membangunkan sosok hyun joong.
“ji yoong ah, dia sudah pergi.” lagi-lagi aku mendengar kalimat yang tidak ingin kudengar itu. Mana mungkin dia pergi, padahal dua bulan yang lalu dia masih baik-baik saja. Dan sebelumnya kami sudah merencanakan sebuah party untuk ulang tahunku besok. Bagaimana mungkin dia pergi sebelum ulang tahunku, harusnya dia menunggu hingga hari itu.
“ji yoong, kamu harus sabar. Ikhlaskan kepergiannya.” Suara lembutnya menyadarkan aku ke sebuah kenyataan yang tak ingin kuterima.
“bagaimana mungkin dia pergi tanpa mengatakan apapun padaku, apakah dia sungguh membenciku?” ujarku setengah berbisik.
“bukan seperti itu, dia hanya tidak ingin membuatmu sedih. Aku harap kamu mengerti dengan pilihannya, ini yang terbaik untuk kalian berdua.”
“apa? Terbaik untuk siapa?” seruku. “dia hanya memikirkan dirinya sendiri, selama ini aku berfikir dia membenciku karena telah melakukan hal bodoh yang tak dapat dimaafkan. Tapi lihat sekarang, dia meninggalkan aku tanpa sepatah katapun. Dia membuatku menjadi sahabat yang paling bodoh dalam dunia ini. Tidak mengetahui apapun tentang dirinya, apa ini masih dapat disebut sebagai yang terbaik?” seruku menangis.
“dia tidak pergi tanpa satu katapun padamu.” Nyonya kim memberikan sebuah amplop padaku,dengan ragu aku menerimanya. “buka, ini adalah kata-kata terakhir hyun joong untukmu. Walaupun dia tidak mempunyai tenaga, tapi dia tetap ingin meninggalkan ini untukmu.”
Aku melihat lekat-lekat amplop yang berwarna putih bersih ini, lalu berlahan aku membukanya.
Dear ji yong,
Sahabat maaf, aku tak dapat melihatmu sedih makanya aku harus pergi seperti ini. Melihamu menangis aku sungguh tak sanggup. Ji yoong ah, kamu pasti berfikir kalau aku adalah sahabat yang tidak baik, tapi sungguh aku tak bermaksud seperti ini. Aku hanya berusaha membuat diriku tenang dan dapat menghadap sang pencipta tanpa beban sedikitpun. Melihat wajahmu membuatku tak ingin meninggalkan dunia ini, rasanya aku ingin selalu bersamamu. Aku emang egois karena hanya memikirkan diri sendiri, tapi sekali lagi aku katakan, aku tak ingin melihatmu sedih karena aku. Ji yoong ah, jongmal mianhe.
Oh iya, aku meletakkan sebuah kado di kamarmu beberapa hari yang lalu dan kamu tidak boleh membukanya sebelum hari ulang tahunmu, oke. Aku tahu kalau umurku tidak sanggup menunggu ulang tahunmu yang ketujuh belas ini, maka aku menyembunyikan sebuah kado dalam kamarmu. Aku meletakkanya di sebuah tempat yang sangat tersembunyi agar kamu tidak menemukannya saat aku belum pergi. Ini adalah kado terakhir dari aku, maka kamu harus menjaganya dengan baik, apa kamu mengerti? Aku berharap kamu bahagia selamanya, dan mendapatkan seorang sahabat baru yang lebih baik dariku.
Ji yong ah, ingat kamu tidak boleh mengecewakan lee na, sekarang ku kembalikan dia untukmu. Dari awal dia adalah milikmu, dan aku hanya bermimpi memiliknya. Aku sadar akan hal itu, tapi melihatmu bersamanya membuatku sedikit cemburu, dan maaf atas kata-kataku yang kemarin. Sungguh aku tak bermaksud menyakiti hatimu, aku hanya emosi sesaat. Apakah kamu mau memaafkan aku? kalau tidak, aku berharap dikemudian hari dapat bertemu denganmu, agar aku dapat meminta maaf secara langsung. Kalau dimasa depan kamu masih tidak memaafkan aku, maka dikehidupan kedepannya aku akan hidup untukmu. Melindungimu, menghiburmu dan juga selalu menyangangimu selamanya. Seperti itulah yang ku inginkan di masa mendatang. Apakah sekarang kamu mau memaafkan aku?
Ji yong ah, aku sudah lelah menulis surat ini. Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya untukmu karena mau menjadi sahabatku selama ini, kamulah yang terbaik. Oh iya, aku sungguh sudah lelah, aku harus tidur siang hari ini. Nanti mama marah kalau aku terlalu lama menulis surat ini. Lihat saja, wajahnya sudah mulai cemberut memelototiku, seperti mau memangsa diriku saja, padahal akukan masih anaknya yang belum mati hari ini. Oke ji yong ah, segini saja ya. Aku sungguh berharap kamu menjaga lee na untukku, dan di kehidupan mendatang dia akan menjadi milikmu, jadi kubiarkan kali ini kalian hidup bersama selamanya. Oke.
Ji yong ah, annyeong.
Love hyun joong.
Air mata merebak keluar dari kelopak mataku seperti air terjun. Aku terperosot diatas lantai, mencengkram kuat surat yang di tulis oleh hyun joong padaku. Bagaimana mungkin dia yang minta maaf padaku, setelah aku membuat salah padanya. Apakah aku masih dapat dikatakan sebagai sahabat yang baik untuknya? Bahkan pertemuan terakhir kamipun begitu menyedihkan~bertengkar. Ku fikir selama ini dia begitu membenciku karena diam-diam bertemu dengan lee na, tapi ternyata tidak~aku salah. Dia hanya memikirkan aku tanpa memikirkan dirinya. Bagaimana ini? bagaimana aku menghadapinya dimasa depan. Aku rasa aku tak mempunyai nyali untuk melihatnya di masa depan. Aku malu pada diriku sendiri.
“ji yong ah, gwenchana.” Lee na membantuku bangkit dari lantai yang begitu dingin. Aku dengan sekuat tenaga berusaha bangkit dari lantai dan kembali memandangi wajah hyun joong yang sudah berpakaian rapih. Memakai kemeja putih, jas hitam dan sebuah dasi melilit pada lehernya. Dia seperti pengantin yang akan bertemu dengan mempelai wanitanya~tampan.
Tanggal 18 agustus 20** pukul 00.00 AM
“ji yong ah, wake up.” Sebuah bisikian hangat terdengar lembut ditelingaku. “ji yong, seangil chukahamnida.” Aku membuka mataku, dan melihat wajah hyun joong begitu jelas di hadapanku. Aku terlonjak kaget.
“hyun joong.” Seruku langsung menyambar tubuhnya yang begitu dingin.
“seangil chukahmanida…” hyun joong melayangkan senyum andalanya.
“kamu kemana saja, kenapa kamu meninggalkan aku? Aku mengaku salah, mianhe.”
“aniyo.” Hyun joong berlari ke beranda kamarku. “ji young ah, ini untukmu.” Hyun joong mengendong seekor anak anjing di pangkuannya.
“ini untukku?” seruku kegirangan karena sudah lama ingin memelihara anjing, tapi tak dapat membelinya karena terlalu mahal.
“ini untuk kau rawat, kamu kan perlu teman baru.” Ujarnya senyum. “jangan terlalu sering menangis, nanti air matamu itu bisa kering, dan kalau kamu butuh teman bicara, dia bisa kamu ajak bicara seperti halnya padaku. Oh iya, beri dia nama gaho.”
“ah, gaho?” Ulangku.
“iya, G-A-H-O.”dia mengeja nama anjing itu.
“baiklah, aku akan memberinya nama gaho, seperti yang kamu inginkan.”
“ji yong ah, aku harus kembali. Annyeong.” Dia melambai tangan kemudian menghilang di telan kegelapan malam. Aku melihat hyun joong semakin menjauh dan terus menjauh menuju langit hitam. Disaat yang bersamaan tiba-tiba di langit muncul bintang baru yang bersinar dengan terangnya mengalahkan bintang yang lain. Mungkin para bidadaripun akan memperebutkannya disana, kerena dia terlalu tampan. Aku tersenyum lalu melambaikan tangan pada bintang baru itu, berharap kalau hyun joong akan melihatku dari tempatnya yang tertinggi. Aku berharap dia akan selalu melindungiku dari sana.
***
“hyun joongggggg....” seruku saat terjatuh dari tempat tidur. Aku mengelus-elus bokongku yang terbentur keras ke lantai.
“ji yong ah, kamu sudah bangun.” Lee na memasuki kamarku dengan celemek menempel padanya. Aku bingung, kenapa dia berada dalam rumahku.
“apa yang kamu lakukan?”
“habis pemakaman, kamu jatuh pingsan. Jadi aku di suruh bibi kim untuk menemanimu hingga sadar.” Jelasnya.
“pingsan, jadi yang tadi hanya mimpi.” Aku mengaruk-garuk kepala.
“kamu mimpi apa?” ujar lee na seraya kembali ke dapur dan menyiapkan bubur diatas meja.
“tidak, bukan apa-apa.” Dustaku, tapi otakku masih terus berkelana. Padahal perasaanku itu adalah nyata.
“manhi mogoh.” Lee na meletakkan bubur dan semangkuk sop rumput laut, “seangil chukahamnida.” Serunya.
“gomawo.” Aku melambungkan senyum termanisku padanya.
Guk..guk..
Samar-samar aku mendegar gong-gongan anak anjing, tapi aku tak tahu dari mana asalnya.
Guk..guk..
“lee na, kamu mendengar suara anak anjing, gak?” tanyaku tidak yakin.
“dengar, dari tadi malam aku mendengarnya. Tapi aku tidak yakin itu ada di rumah ini, maka kubiarkan.” Jelasnya.
“tadi malam.” Aku langsung berlari ke kamar dan membuka pintu menuju balkon.
Guk..guk...
Terlihat seekor anjing coklat sedang berada dalam kandang. Aku bingung sendiri, bagaimana anjing ini berada di sini. batinku.
“wow, lucu sekali.” seru lee na mengeluarkan anjing itu dari kandanganya, “namu siapa?” tanya seraya mengelus lembut kepalanya yang mungil.
“gaho.” Jawabku tanpa sadar.
“gaho, wow, nama yang bagus.”
Guk..guk...
The end
“ji yong ah, kamu jangan iri, ya.” Hyun joon mengatakan itu dengan wajah mengejek. Dasar si brengsek itu memang senang melihat temannya menderita. Aish, seandainya dia ada di hadapanku maka akan……
“ji yong ah… annyong.” Hyun joon memukul pundakku dengan seluruh tenaganya hingga membuatku terpental dan jatuh.
“iah, sakit tahu.” Seruku padanya, tapi dia tidak menghiraukan ucapanku. Dia malah melangkah tanpa memberikan bantuan~benar-benar dimabuk kasmaran.
“iahhhh, hyun joong.” Histeris bangkit berlari. Aku langsung menempel pada punggungnya, mengaitkan tangan kelehernya hingga membuatnya susah bernafas. “kamu tidak akan kulepaskan.” Bisikku tepat di telinganya. Bukannya dia malawan, tapi dia malah mengendongku. Aku merontah-rontah untuk diturunkan, tapi dia terlalu kuat memegangiku.
“sudah, diam saja kamu diatas sana.” Ujarnya datar.
“apa? lihat semua orang memandangi kita.” Seruku kemudian mengigit pundaknya. Dia mengerang kesakitan dan melepaskan pegangannya, lalu aku segera merosot dari punggungnya.
“iah, kenapa kamu mengigitku? Sakit tahu.” Hyun joong melotot padaku hingga membuat bola matanya ingin keluar.
“iah, salah sendiri. Akukan tidak mau dikatai orang, masa cowok gendong cowok.” Ujarku setengah berbisik.
“lalu kamu mau di gendong cewek.” Serunya.
“tidak.” Jawabku cepat-cepat.
“sudah, nanti kita terlambat ke sekolah. Apakah kamu tidak bosan di ceramahin ama Mr. taeyang tiap hari telat terus.” Cerocosnya.
“iya, iya.” aku menurut saja padanya daripada kami harus bertengkar lagi disini.
Sepanjang perjalanan, hyun joong tidak henti-hentinya bercerita tentang kencan pertama mereka. Seakan dunia ini adalah milik mereka berdua, yang lainnya hanya mengontrak. Sebel dengan ceritanya aku mengeluarkan ipodku lalu mendengarkan lagu favoriteku. Sepanjang jalan hyun joong terus saja mengoceh, padahal aku tidak mendengarkan apa yang dikatakannya padaku. Setiap mulutnya mengatup maka aku hanya mengucapkan ‘oh, terus.’ Setelah mendenger kata itu, maka dia akan terus bercerita tanpa titik dan koma. Dia seperti burung beo yang sedang berlatih bicara saja. Mengerikan.
***
Saat bel istirahat berbunyi, hyun joong dengan segera langsung berlari keluar kelas. Aku terdiam saat melihat punggungnya yang semakin jauh dariku. Aku duduk menyilang kaki, menulis beberapa kata diatas kertas putih. Aku mencoba mengurai kondisiku sekarang kesebuah kata-kata dan menuangkannya menjadi sebuah lirik lagu. Saat ke kehabisan kata-kata maka aku tanpa sadar akan mengigiti pencilku yang berwarna kuning. Aku sudah sering melakukannya, hingga hyun joong akan mengeluh jika menemukan pencilku penuh dengan bekas gigi di ujungnya. Membuatnya sedikit jijik.
Aku melempar pencilku keatas buku karena fikiranku tidak berkonsentrasi. Aku terus memandangi tulisan-tulisan itu lalu mencoret-coretnya hingga tak terlihat jelas tulisan apa yang ada disana. Aku kesal, benci dan semua bercampur menjadi satu. Aku tidak tahu gadis seperti apakah yang membuat hyun joong tergila-gila padanya hingga rela meninggalkan ku sekarang. Biasanya kami akan pergi makan siang bersama dan kemana-mana bersama. Tapi sekarang berbeda, dia sudah punya pacar. Merasa penasaran dengan gadis itu, aku bangkit dari kursi. Berjalan menuju kantin, karena kemungkinan mereka sekarang sedang makan bersama disana.
“ji yong ah…” seru hyun joon dari meja tengah. Aku lembai padanya, berjalan menuju meja mereka.
Dari kejauhan aku sedikit familiar dengan sosok gadis yang duduk dihadapan hyun joong. Aku sepertinya pernah melihatnya sebelumnya, tapi siapanya?
Aku berdiri tepat di samping sang gadis, tapi dia masih tetap menikmati spaghetti-nya. “lee na, kenalkan ini sahabat kecilku.” Hyun joong penuh semangat memperkenalkan aku pada sang pacar.
“hyaa, aku ini bukan anak kecil tahu.” Seruku karena tidak rela di panggil anak kecil, padahal beberapa bulan lagikan aku udah tujuh belas tahu.
“lee na, dia emang selalu seperti itu.” hyun joong mengedipkan salah satu matanya.
“lee na, sepertinya aku pernah dengar.” Gumanku memutar-mutar bola mataku.
“annyonghaseyo, choneun lee na imnida.” Dia bangkit berdiri dan menunduk padaku dengan hormat. Aku sesaat tertegun melihat wajahnya yang sepintas, dan saat kami saling berpandangan aku baru mengingat tentangnya.
“lee na, apakah kamu tidak mengingatku?” seruku kebingungan.
“aniyo, nuguseyo?” ujarnya bingung.
“hya, ji yong ah. Kamu kenal sama lee na?” seru hyun joong penuh heran.
“namamu park lee na-kan?” seruku menyakinkan.
“betul.” Jawabnya.
“iah, kamu dulu tinggal di busan-kan?”
“ne.” jawabnya semakin bingung.
“tapi katamu kamu dari new York, kamu tidak pernah bilang kamu tinggal di busan.” tuntut hyun joong.
“mian, aku lupa tentang masa laluku.” Ujarnya dengan wajah sedih.
“mwo?” histerisku hingga membuat semua mata tertuju padaku. “jwosohamnida.. jwoseohamnida.” Aku meminta maaf pada semua orang karena pandangan mata mereka sungguh menyeramkan, seolang ingin menerkamku seketika.
“apa? pantas saja kamu tidak ingat sama aku.” Ujarku mengecilkan suara.
“mian, tapi aku sungguh tidak mengingat apapun.” lee na semakin putus asa.
“baiklah, aku mengerti.” Aku kemudian duduk di sampingnya.
Mata hyun joong terus tertuju padaku, mungkin dia tahu tentang gadis yang sering kuceritakan padanya. Gadis kecil yang dulunya adalah sahabatku, tapi aku manyukainya. Apakah hyun joong menyadari kalau gadis kecil itu adalah lee na? semoga dia tidak sadar, diakan orangnya cuek dan tidak mau tahu tentang urusan orang lain. Jadi biarkan saja mereka bersama, lagipula lee na sudah tidak mengingatku lagi. Untuk apa aku terus menyimpan perasaan untuknya, haruskah aku mencari pacar juga? Sudahlah, biarkan semua berjalan seperti biasa. Seolah tidak pernah bertemu dengannya dan semua akan baik-baik saja. Aku pasti bisa melalui masa-masa sekarang~aku mencoba memberi kekuatan pada diriku sendiri.
“oh iya, ceritakan tentang kehidupanmu di new York.” Aku memecah keheningan yang tercipta.
“oh,” ujarnya kemudian terdiam kembali, “aku disana sekolah sampai tingkat high school junior, kemudian high schoolnya melanjut di sini.” Ujarnya.
“hah?” histerisku, “kamu sudah di sini sejak kelas satu?” aku merasa bodoh, karena tidak pernah bertemu dengannya selama ini. Walaupun sekolah ini memang besar, tapi aku masih tetap merasa bodoh sendiri.
“makanya, kalau istirahat itu jalan sekali-kali. Bukannya Cuma nulis aja kerjaanmu di kelas.” Sindir hyun joong.
“kamu suka nulis apa?” tanya lee na antusias.
“nulis lagu.” Aku belum sempat menjawab, hyun joong sudah menyambar. Membuatku menganga seperti ikan yang mau dikasih makan.
“benarkah, apakah kamu mau membuat lagu untukku.” Ujarnya tanpa malu-malu.
Aku dan hyun joong terperangah dengan ucapan lee na barusan, “aku tidak pernah lihat gadis yang mengatakan hal itu pada pria yang baru saja bertemu dengannya.” Gumanku.
“katamu kita sebelumnya sudah kenal, jadi ini bukan yang pertama dong.” Ia mengembangkan senyumnya selebar-lebarnya hingga membuat jangtungku berdetak kencang. Aku tak bisa mengendalikan perasaanku maka segera saja aku menyambar cola yang ada di hadapan hyun joong dan meneguknya hingga habis.
“hya… kenapa kamu menghabiskanya?” seru hyun joong mengeplak kepalaku dengan gelas tempat cola tersebut.
Aku mengelus-elus kepalaku, “aku haus tahu.”
“kamu juga boleh menghabiskan cola-ku asalkan kamu buatkan lagu untukku.” Dia lagi-lagi tersenyum padaku. Aku tak sanggup melihat senyum itu lalu diam-diam menarik nafas. “ya, buatin aku lagu.” Pintanya dengan wajah memelas.
“hya, ji yong ah. Sudah, buatkan saja dia lagu, karena kalau tidak dia akan seperti itu terus.” Jelas hyun joong.
Aku teringat waktu kecil, kalau permintaan lee na tidak di penuhi maka dia akan terus menuntut hingga keinginannya itu terpenuhi. Seperti sekarang, merengek dibuatkan lagu.
“baiklah, tapi tidak bisa besok. Aku sedang sibuk.” Ujarku datar.
“ji yong ah, gomawo.” serunya penuh kebahagian.
Aku tersenyum sendiri melihatnya seperti itu. Aku tak menyangka kalau sifatnya masih sama seperti waktu dulu. Walaupun dia sudah lupa padaku, kuharap ingatannya segera kembali dan kami dapat mengenang masa kecil kami berdua. Dan ku harap dia masih ingat dengan janji kami untuk menjadi suami istri di masa depan. Waktu masih kecil, kami sempat membuat janji. Sebenarnya itu hanyalah janji anak-anak, tapi untukku aku sungguh berharap itu bisa terpenuhi. Lee na anak yang cengeng itu selalu saja menangis saat segerombolan anak-anak senior mengganggunya. Karena aku adalah laki-laki, maka dengan berani aku akan melindunginya. Maka sewaktu dia menangis, dia mengatakan kalau dia hanya ingin menikah denganku, tidak dengan laki-laki lain. Kalau nggak salah itu umurku sekitar tujuh tahun. Semoga saja dia masih mengingat itu dan kembali padaku. Tapi sepertinya itu mustahil, dia sudah bersama dengan hyun joong. Aku tersadar dengan kenyataan yang ada, lee na cinta kecilku sudah menjadi milik hyun joong dan aku harus terima itu.
***
“chaaaa….” Seru hyun joong menunjukkan paper bag padaku. ‘tumben dia kasih hadiah buatku.” Batinku mengambilnya namun di tarik kembali olehnya. “bukan untukmu.” Hyun joong mengalihkan wajahnya, tersenyum sendiri seperti orang gila. Aku mendesah kecewa.
“ini.” dia kembali menyodorkan paper bag itu, tapi ku acuhkan. “iah, ini buatmu.” Dia tetap menyodorkan, dan kubiarkan. “ya sudahlah, ini untukku saja.” Dia kembali menarik tangannya, mungkin tangan pegal karena terlalu lama mengantung diudara.
“kamu fikir aku akan tertipu dengan akal bulus mu lagi.” Ketusku dingin.
“ya sudah, ini untukku.”hyun joong membuka paper bag itu kemudian terkejut. Aku tidak shock dengan ekspresinya yang berlebihan, dia sudah sering mengejekku. “hya, aku tidak tahu kalau lee na tahu kalau kamu suka sama G-Dragon.” Gumannya. “baru dibuatkan lagu saja sudah membelikanmu CD ini, wah baik benar sahabat kecilmu itu.” lanjutnya.
Aku shock mendengar ucapannya barusan, “jadi itu bukan dari kamu?” seruku merampas papar bag itu darinya.
“emang aku seromantis itu, memberikan kado untukmu.” Dia terus memegangi paper bag itu seolah tidak rela memberikannya padaku.
“hya, ini milikku.” Aku berteriak padanya.
“kamukan sudah menolaknya.” Serunya kembali.
“ini milikku.” Aku memanarik tas itu tapi masih tidak dilepas oleh hyun joong. “hya, hyun joong.” Seruku menarik kembali dan akhirnya terjadilah aksi tarik-menarik. Hyun joong juga belum rela memberikan milikku itu, dia dengan kekeh mempertahankannya seperti itu adalah miliknya. Aku kesal melihat tingkah hyun joong yang masih seperti anak-anak, lalu aku dengan tiba-tiba menarik tas itu dengan sekuat tenaga.
“kyaaaaa…….” Aku terlempar jauh. Saat aku menarik kuat-kuat tas itu, hyun joong dengan tiba-tiba juga melepaskannya hingga membuat tubuh terpental dan terjatuh diatas aspal.
“wahahahahaha…..” hyun joong menertawakan kebodohanku. Dia tertawa melihat diriku yang selalu saja dikalahkan olehnya, mempermainkanku dengan seenaknya.
“tega, banget sih.” Seru bangkit berdiri.
“makanya jangan terlalu bersemangat gitu dong.” Godanya kemudian kembali tertawa.
“aish, jincha.” Aku mengibas-ngibaskan celanaku dengan tangan.
“ji yong ah, gwenchana?” tanya tanpa dosa. Entah kenapa aku tidak bisa marah padanya, walaupun dia selalu mengerjain aku setiap hari. Melihat senyumnya selalu saja menenangkan hatiku. Hyun joong dan aku berteman sejak SMP, setelah aku pindah dari busan. Dia adalah teman pertamaku, yang telah menyelamatkan aku dari gangguan anak senior. Tapi sejak itu dia selalu saja mengerjain aku seperti anak bodoh yang bisa dipermainkan begitu saja. Terkadang kesal melihat tingkahnya yang masih seperti anak-anak, tapi dia selalu membuatku tertawa saat aku sedih.
“sudah, jangan mengangguku.” Aku menepis tangannya. “bagaimana mungkin lee na berpacaran dengan orang jahil seperti mu, sepertinya dia benar-benar ada gangguan dengan otaknya.” Gumanku sendiri.
“kenapa? kamu iri?” godanya.
“aniyo.” Jawabku cepat-cepat.
“ah,” hyun joong menyikutku “ aku tahu dia adalah cinta pertamamu” ujarnya kemudian. Aku menghentikan langkah kakiku, terdiam sesaat.
“bagaimana kamu tahu, bukankah aku tidak pernah memberitahu nama gadis itu.” ujarku termenung, seperti penjahat yang ketahuan.
“iah, di wajahmu itu tertulis jelas ‘lee na my first love’.” Serunya mengagetkanku. Ku fikir dia akan marah atau cemburu kalau mengatahui kalau gadis itu pernah mengisi hatiku. Walaupun sampai sekarang aku masih belum bisa mengeluarkannya dari lubuk hatiku yang terdalam. Namanya masih terukir jelas disana. Wajahnya pun demikian.
“kamu tidak marah.” Aku mendekatinya dengan kaki gemetar.
“tidak,” ujarnya tersenyum, “tapi tolong jangan berharap untuk kembali padanya, karena dia adalah milikku” kata-katanya seperti anak panah yang menancap dihatiku. Nadanya terdengar datar, tapi artinya begitu mengena di hati. Aku menahan nafas, memandangnya dengan tajam. “jangan salah paham, aku hanya tidak ingin melihatnya dengan cowok lain selain diriku. Kamu mengertikan maksudku.” Hyun joong berusaha untuk membuat hubungan kami tidak terganggu dengan kehadiran lee na diantara kami.
“apakah kamu fikir aku akan melakukan hal itu?” ujarku.
“hya, kamu itu lelaki normal dan lee na adalah cinta pertamamu. Jadi aku kuatir kalau seandainya kamu belum melupakannya sepenuhnya. Biasanya setan itu bisa muncul kapan saja, dan bila kamu tidak dapat mengatasinya maka kamu akan berbuat sesuatu yang tidak pernah kamu fikirkan sebelumnya.”
Hyun joong berusaha untuk memberikan penjelasan atas kecemasannya. Memang benar kata-katanya kalau aku belum benar-benar melupakannya, bahkan aku masih mengharapkannya walaupun tahu dia adalah pacar dari sahabatku sendiri.
“aku tahu.. aku tahu..” aku mengibas-ngibaskan tangan padanya.
“oke. Aku tahu kalau kamu adalah sahabat terbaikku, tidak mungkin kamu akan mengambilnya dariku.” Hyun joong merangkulku dan kembali berjalan. “tapi saat aku tidak ada, aku harap kamu menjaganya untukku.” Bisiknya, hingga membuatku merinding. Aku tidak tahu maksud dari kalimatnya barusan.
“apa maksudmu?”
“tidak apa-apa.” jawabnya enteng.
Kami sudah melalui jalan ini selama hampir lima tahun, sejak aku dan hyun joong mulai masuk high school junior.
“apa?” paksaku.
“bukan apa-apa.” serunya.
“hyaa, hyun joong. Apa kamu mau mati di tanganku.” Seruku saat dia berlari memasuki gerbang dan meninggalkan aku sendiri. Dia berjalan kearah lee na yang sedang berjalan menuju gedung sekolah.
“apa maksudnya?” aku mengaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.
Aku melihat mereka berjalan sambil bergandengan tangan, mereka terlihat serasi, hyun joong yang tampan dan memiliki tubuh tinggi terkadang membuatku iri padanya. Tidak menyangka kalau pacarnya adalah lee na, yang merupakan sahabat kecilku dulu. Aku bersenyum sendiri melihat kemesraan mereka, namun hati terasa teriris-iris.
Sepulang sekolah aku menyempatkan diri untuk mengucapkan terima kasih pada lee na atas hadiahnya. Hyun joong sedang sibuk mengurus kelas yang akan mengikuti lomba. Di sela-sela kesibukan, aku berlari diam-diam. Aku menoleh kebelakang, samping dan kemudian berjalan normal kembali. Aku takut kalau orang-orang akan mengatakan hal aneh bila aku menemui lee na. Apa kata orang, bisa-bisa mereka mengatakan pagar makan tanaman, padaku. Aish, jangan sampai dech aku melakukan hal bodoh itu. Benar kalau aku masih menyukai lee na, tapi aku masih tergolong manusia waras yang tak mungkin melakukan kebodohan itu.
Dari pintu aku mengintip, lee na masih duduk di kursinya. Dengan tangan menyanggah kepalanya. Wajahnya terlihat muram, berkali-kali dia menarik nafas kemudian menghembuskannya berlahan~kebiasaan yang masih sama. Aku mengendap-endap menghampirinya.
“dorrrr….” Aku mengagetkannya hingga membuatnya terlonjak dari kursinya.
“hyaaa, kamu mengangetkanku.” Serunya.
Aku nyengir kuda padanya, “mian.” Ucapku.
“sudahlah, aku lagi tidak mood nich.” Lee na kembali duduk di kursinya namun kepalanya tergeletak lemah diatas meja. Diam-diam aku memperhatikannya, “jangan melihatku seperti itu.” aku tersentak mendengarnya. ‘bagaimana dia tahu kalau aku melihatnya?’ batinku.
“apa kamu benar-benar tidak ingat denganku?” aku berusaha mencoba bertanya.
“sudah kubilang, aku benar-benar lupa.” Ujarnya setengah berbisik hingga aku harus menajamkan pendengarkan.
“jincha.” Ujarku.
Lee na mengangguk, “bagaimana kita bermain gunting batu kertas. siapa yang kalah disentil jidatnya.” Saranku.
‘semoga ini dapat mengingatkan tentang masa kecilnya.’ Batinku.
“oke.” Lee na mengangkat kepalanya, sebuah senyum terterah diwajahnya. Permainan ini sering kami mainkan sewaktu kecil. Dan kuharap dia mengingat hal itu dan secara berlahan ingatannya bisa kembali. Selama dua bulan terakhir ini aku sudah menceritakan tentang masa kecil kami, tapi sepertinya dia tidak dapat mengingat apapun juga.
Kami mulai memainkan gunting batu kertas, pertama aku yang kalah tapi selanjutnya akulah pemenangnya. Lee na minta ampun saat serangan-serangaku mengenai jidatnya yang tertutup poni, aku tak ragu-ragu untuk menyentilnya karena sudah lama aku merindukan hal ini. Aku terus saja menghujaninya dengan sentilan hingga jidatnya sekarang kemerah-merahan. Sebenarnya aku kasihan padanya, tapi aku tidak mungkin pura-pura kalah padanya, nanti dia curiga dan mendapati diriku yang pernah mencintainya.
“gunting batu kertas.” lee na bersemangat menunjukkan senjatanya dan ternyata akulah pemenangnya lagi.
“sini, sini.” Ujarku menyisihkan poninya.
Lee na menjauh, “andwae…” dia menutupi jidatnya yang merah, mungkin rasanya perih. “andwae, kenapa kamu tidak kasihan padaku sih?” gumannya.
“dalam permainan tidak boleh ada yang mengalah.” Ujarku mengambil ancang-ancang untuk melakukan serangan. Aku meniup-niup senjataku, “kesinikan keningmu.” Aku menarik tengkuknya dan secara reflex dia menutup kedua matanya. Aku tertegun melihat wajahnya yang begitu dekat, hembusan nafasnya mengenaiku dan dapat kurasakan. Aku menafan nafas seketika, dan terus memandanginya.
“apa yang kamu lakukan?” lee na mendadak membuka mata, aku tersentak dan mengambil posisi semula~duduk.
Aku salah tingkah sekarang, menatap wajahnya saja aku tak sanggup. “tidak apa-apa.”
“ji yong ah…” panggilnya.
Aku seperti terhipnotis oleh panggilannya, nada dan cara memanggilnya masih sama seperti dulu. Dengan berlahan aku mengangkat wajah dan menatapnya. Senyumnya kembali mengembang saat aku menoleh padaku, membuat jangtung berdetak tak karuan. Seperti ada sebuah genderang disana.
Cupp…
Bodoh, tanpa sadar aku menciumnya. Aku tak tahu harus berbuat apa-apa lagi, wajah lee na benar-benar marah. Dengan kaki gemetaran aku berlari menuju pintu namun….
“seperti inikah seorang ji yong yang aku kenal.” Ucapan hyun joong membantiku keras keatas tanah. Aku terdiam, kakiku semakin gemetaran.
“aku bisa jelaskan.” Ucapku meraih tangannya namun ditepis begitu saja olehnya.
“tidak perlu, aku fikir kamu masih seorang teman. Tapi lihat apa yang kamu lakukan pada lee na, kamu menciumnya di belakangku.” Dia sekarang terlihat beringas, tatapannya begitu tajam.
“sungguh, aku tak segaja.” Aku berusaha membuat alasan untuk kejadian ini.
“apa? bukankah kukatakan tadi pagi kalau kamu tidak perlu mendekatinya, aku tahu kalau kamu masih menyukainya makanya aku mengatakan hal itu. Aku benar-benar kecewa sama kamu.” Serunya.
“hyun joong ah, jongmal mianhe.” Aku terus meraih tangannya, tapi lagi-lagi ditepis.
“aku tidak mau melihat wajahmu lagi, pergi kamu dari hadapanku.” Serunya hingga membuatku ketakutan sendiri. Inilah pertama kali aku melihatnya semarah itu. Aku gemetar, aku ingin menangis karena kebodohanku menghancurkan persahabatan kami selama ini. “aku katakan pergi dari sini, dan jangan pernah bertemu denganku lagi.” Serunya kembali.
“hyun joong,” panggilku.
“jangan pernah sebut namaku dengan mulutmu itu, kamu bukalah temanku lagi. Kamu bukan ji yong yang aku kenal selama ini. kamu tidak mempunyai perasaan, apa kamu tidak sadar dengan yang kau lakukan?” serunya.
“aku bisa jelaskan.”
“jelaskan, bagaimana kamu menjelaskan semua ini? aku melihatmu dengan kedua mataku sendiri, lalu apa yang masih ingin kamu jelaskan.”
“aku benar-benar tidak sadar.” Bisiku.
“tidak sadar, bukankan sudah ku katakana kalau kamu harus menjauhi lee na. apakah kamu tidak mengerti dengan maksudku itu?”
“mian, jongmal mianhe.”
“jangan pernah menampakan dirimu dihadapanku, aku membencimu. JONGMAL MIWO.” Dua kata terakhir merobek seluruh hatiku. Persahabatanku mungkin akan berakhir disini.
Aku terdiam, aku tak tahu harus mengatakan apa lagi padanya. Lelah melihat diriku yang mematung, hyun joong menarik lee na meninggalkanku sendiri. Aku terperosot dilantai meratapi kebodohanku.
“bodoh, sungguh bodoh.” Aku memukuli kepalaku.
“kenapa aku melakukan hal bodoh itu, kenapa?” seruku pada ruangan yang kosong.
“aku sungguh menjadi seorang sahabat yang tidak baik, aku manusia terbodoh yang ada di dunia ini. aku… aku…” aku terus menyalahkan diriku sendiri. Aku tak tahu kenapa bisa kehilangan akal sehat barusan, harusnya aku dapat mengendalikan perasaanku sendiri. Bukannya melakukan hal bodoh barusan, pasti hyun joong akan membenciku dan tak mau melihatku lagi.
Dalam keputus asaan aku kembali berjalan menuju kelas, dan sekarang kelas sudah terlihat rapih dan cantik dengan berbagai hiasan yang dipasang. Aku mengambil tasku, melangkah keluar dan meninggalkan gedung sekolah. Selama perjalanan, aku mengingat setiap kalimat yang dilontarkan oleh hyun joong. Setiap kata-katanya seperti pisau yang merobek hatiku~sakit sekali.
“aku pantas menerima ini.” gumanku.
“semua salahku dan kebodohanku, semua yang dikatakan hyun joong memang benar, tidak seharusnya aku mendekati lee na. Aku sungguh bodoh.” Aku terus saja memukuli kepalu sambil berjalan. Aku sungguh tak mengerti dengan diriku sendiri sekarang ini. Aku fikir mengendalikan perasaan itu mudah, tapi ternyata sangat sulit sekali. Walaupun otak berkata lain, tapi hati tidak tahu bagaimana dapat melakukan kejahatan itu. Aku merasa menjadi seorang penjahat sekarang.
Dua bulan kemudian.
Sejak kejadian itu, hyun joong tidak pernah masuk sekolah. Sepertinya dia benar-benar tidak ingin bertemu denganku lagi. Aku datang kerumahnya untuk bertanya, tapi setiap kali aku berkunjung tidak ada orang disana. Sepertinya mereka sudah pindah, tidak ada kehidupan disana. Aku bertanya pada lee na, tapi setiap kali aku bertanya wajah selalu murung. Seperti ada sebuah beban berat di pundaknya. Tidak ada seorangpun yang mau memberitahuku tentang keberadaan hyun joong. Dalam keputus asaan aku hanya bisa menyalahkan diriku sendiri.
“ji yong ah,” suara lee na mengagetkanku. “aku mau bicara denganmu.” Wajahnya terlihat serius, dan aku mengikutinya ke taman belakang.
“kamu mau bicara apa?” tanyaku padanya.
Wajahnya terlihat sedih, “ada dua kabar, satu kabar bahagia satu kabar buruk. Kamu mau mendengar yang mana dulu.” tanyanya.
Aku kebingungan dengan pertanyaannya, “kabar baik.” Ujarku.
“aku sudah ingat masa laluku, semua yang kita lalui dimasa anak-anak aku sudah mengingatnya kembali. Bahkan janji kita waktu itupun aku sudah ingat.” Wajahku penuh kebahagian namun wajahnya terlihat murung.
“jincha.” Seruku.
“ne.” jawabnya dengan suara parauh seolah tidak senang dengan ingatannya yang kembali. Mungkin dia bingung mau memilih hyun joong atau diriku sekarang.
“kenapa wajahmu seperti itu? pasti kamu bingung mau mimilih siapa diantara aku dan hyun joong, ya.” Tanpa sadar aku mengutarakan gagasanku.
“bukan, tidak seperti itu.” wajahnya semakin sedih.
“lalu, kenapa kamu sedih seperti itu.” aku menyentuh lembut wajahnya, namun dia masih tetap membisu. Aku bingung dengan sikapnya sekarang, Wajahnya terlihat begitu sedih.
“ji yong ah,” panggilnya lirih.
“ne.” Sahutku.
“hyun joong...” mengucapakan nama itu membuatnya mengeluarkan air mata.
“ada apa dengannya?” tanyaku cemas.
“hyun joong, dia...” lee na menarik nafas dalam-dalam, “dia, dia dirumah sakit.” akhirnya air mata membajiri wajahnya.
Aku seperti tersambar oleh sebuah petir, aku mundur secara berlahan tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh lee na barusan. Aku terus mundur hingga akhirnya tubuhku menyandar kepada sebuah dinding.
“bohong, kamu pasti berbohong.” Seruku.
“ji yong ah, mianhe.” Air matanya semakin deras membanjiri wajahnya, tapi aku masih tidak percaya dengan semua yang dia katakan.
“dia pasti benci denganku, makanya tidak mau bertemu denganku lagi. Kalau dia sungguh tak mau bertemu denganku tidak apa-apa, asalkan kamu jangan membohongiku seperti ini. Mengatakan dia di rumah sakit adalah kebohongan belaka, iyakan.” Seruku tak dapat mengendalikan diri.
“aniya, jongmal jincha.” Serunya berusaha mendekatiku.
“tidak, hyun jonng baik-baik saja.” seruku menepis tangannya.
“ji yong ah, kita harus kerumah sakit.” bujuknya.
“tidak, aku tidak mau ketemu dengannya sebelum dia memaafkan aku.”
“ji yong ah...”
“shireo.” Seruku kembali.
“ji yong ah!!!!.” Bentaknya padaku. “hyun joong tak bisa bertahan lagi, kita harus kerumah sakit. dia sudah lama mempunyai penyakit liver dan kata dokter dia tidak bisa bertahan lagi.”
Mendengar kalimat itu seperti hukuman untukku, aku yang merupakan sahabatnya sejak smp tidak mengetahui apapun tentangnya. Aku fikir dia akan selalu baik-baik saja, dengan wajahnya seperti itu aku tidak tahu kalau dia sedang sakit.
“mwo?” lirihku.
“kita harus kerumah sakit, sekarang.” Lee na menarik tanganku. Aku tak dapat menolaknya, aku terus mengikutinya terus berjalan menuju rumah sakit yang tak jauh dari sekolah kami. Semua kenangan akan hyun joong kembali berputar-putar dalam otakku. Aku menangis, aku sungguh menangis seperti anak kecil yang ditarik pergi oleh ibunya. Aku tak tahu kenapa ini terjadi, air mataku seolah tak mau berhenti mengalir. Aku semakin merasa bodoh dengan kejadian ini, sungguh membuatku menjadi manusia terbodoh di dunia.
Sampai di depan rumah sakit, aku dan lee na mempercepat langkah saat melihat beberapa medis menuju sebuah ruang pasien. Lee na berlari, sedangkan aku dipenuhi ketakutan.
“bibi, apa yang terjadi.” Lee na bertanya pada mama hyun joong yang berdiri di samping ranjang.
“lee na, hyun joong telah pergi.” ucap ibu hyun joong bercucuran air mata. Aku membatu di depan pintu kamar. “ji yong ah, kesini.” Ajak ibu hyun joong.
Nyonya kim memelukku dengan erat seperti memeluk anaknya sendiri. Aku terdiam dalam pelukannya dan tak dapat mengatakan sepatah katapun. Dalam persekian menit aku hanya diam, tak dapat bergerak seperti patung. Air mata nyonya kim membanjiri seragamku, hangatnya air matanya begitu membakar kulitku. Isak tangisnya terdengar begitu sedih seperti sebuah lagu yang tak berjudul. Aku memcoba mencerna semua yang terjadi sekarang, aku berharap ini adalah mimpi. Aku menutup kedua mataku, menutup pendengaran hingga tak terdengar semua isak tangis dalam ruangan ini. Dan dalam pemandanganku, aku melihat hyun joong sedang berjalan berdua dengan lee na di depan sekolah. Membuatku tersenyum sendiri, tapi saat pendangaranku kembali bekerja. Semua isak tangis kembali terdengar, dan secara berlahan aku membuka mata dan melihat keramaian ruangan yang dipenuhi oleh dokter dan para perawat. Nyonya kim masih terus mendekapku dalam pelukannya, sedangkan lee na berdiri tepat disamping hyun joong sambil menangis.
Berlahan aku melepas dekapan nyonya kim, lalu menghampiri sosok hyun joong yang berbaring lemah di ranjangnya. Wajahnya pucat pasi, semua katampanannya masih terlihat jelas. Namun warna kulitnya terlihat begitu pucat tak bercahaya seperti biasa. Aku terdiam melihat wajahnya, dan tanpa sadar sebuah air mata menetes dari kelopak mataku mengenai wajahnya. Aku menghapusnya dengan lembut, berharap kalau hyun joong akan bangun dari tidurnya.
“hyun joong ah.” Panggilku, “bangun kamu, apa kamu masih terus bermain denganku? Cepat kamu bangun, jangan seperti ini.” aku tersenyum miris melihat sosoknya yang tak berdaya.
“ji yoong ah, dia sudah pergi.” lee na menyentuh lembut pundakku.
“belum, pasti dia hanya bercanda. Aku kenal baik dengannya.” Aku masih berusaha membangunkan sosok hyun joong.
“ji yoong ah, dia sudah pergi.” lagi-lagi aku mendengar kalimat yang tidak ingin kudengar itu. Mana mungkin dia pergi, padahal dua bulan yang lalu dia masih baik-baik saja. Dan sebelumnya kami sudah merencanakan sebuah party untuk ulang tahunku besok. Bagaimana mungkin dia pergi sebelum ulang tahunku, harusnya dia menunggu hingga hari itu.
“ji yoong, kamu harus sabar. Ikhlaskan kepergiannya.” Suara lembutnya menyadarkan aku ke sebuah kenyataan yang tak ingin kuterima.
“bagaimana mungkin dia pergi tanpa mengatakan apapun padaku, apakah dia sungguh membenciku?” ujarku setengah berbisik.
“bukan seperti itu, dia hanya tidak ingin membuatmu sedih. Aku harap kamu mengerti dengan pilihannya, ini yang terbaik untuk kalian berdua.”
“apa? Terbaik untuk siapa?” seruku. “dia hanya memikirkan dirinya sendiri, selama ini aku berfikir dia membenciku karena telah melakukan hal bodoh yang tak dapat dimaafkan. Tapi lihat sekarang, dia meninggalkan aku tanpa sepatah katapun. Dia membuatku menjadi sahabat yang paling bodoh dalam dunia ini. Tidak mengetahui apapun tentang dirinya, apa ini masih dapat disebut sebagai yang terbaik?” seruku menangis.
“dia tidak pergi tanpa satu katapun padamu.” Nyonya kim memberikan sebuah amplop padaku,dengan ragu aku menerimanya. “buka, ini adalah kata-kata terakhir hyun joong untukmu. Walaupun dia tidak mempunyai tenaga, tapi dia tetap ingin meninggalkan ini untukmu.”
Aku melihat lekat-lekat amplop yang berwarna putih bersih ini, lalu berlahan aku membukanya.
Dear ji yong,
Sahabat maaf, aku tak dapat melihatmu sedih makanya aku harus pergi seperti ini. Melihamu menangis aku sungguh tak sanggup. Ji yoong ah, kamu pasti berfikir kalau aku adalah sahabat yang tidak baik, tapi sungguh aku tak bermaksud seperti ini. Aku hanya berusaha membuat diriku tenang dan dapat menghadap sang pencipta tanpa beban sedikitpun. Melihat wajahmu membuatku tak ingin meninggalkan dunia ini, rasanya aku ingin selalu bersamamu. Aku emang egois karena hanya memikirkan diri sendiri, tapi sekali lagi aku katakan, aku tak ingin melihatmu sedih karena aku. Ji yoong ah, jongmal mianhe.
Oh iya, aku meletakkan sebuah kado di kamarmu beberapa hari yang lalu dan kamu tidak boleh membukanya sebelum hari ulang tahunmu, oke. Aku tahu kalau umurku tidak sanggup menunggu ulang tahunmu yang ketujuh belas ini, maka aku menyembunyikan sebuah kado dalam kamarmu. Aku meletakkanya di sebuah tempat yang sangat tersembunyi agar kamu tidak menemukannya saat aku belum pergi. Ini adalah kado terakhir dari aku, maka kamu harus menjaganya dengan baik, apa kamu mengerti? Aku berharap kamu bahagia selamanya, dan mendapatkan seorang sahabat baru yang lebih baik dariku.
Ji yong ah, ingat kamu tidak boleh mengecewakan lee na, sekarang ku kembalikan dia untukmu. Dari awal dia adalah milikmu, dan aku hanya bermimpi memiliknya. Aku sadar akan hal itu, tapi melihatmu bersamanya membuatku sedikit cemburu, dan maaf atas kata-kataku yang kemarin. Sungguh aku tak bermaksud menyakiti hatimu, aku hanya emosi sesaat. Apakah kamu mau memaafkan aku? kalau tidak, aku berharap dikemudian hari dapat bertemu denganmu, agar aku dapat meminta maaf secara langsung. Kalau dimasa depan kamu masih tidak memaafkan aku, maka dikehidupan kedepannya aku akan hidup untukmu. Melindungimu, menghiburmu dan juga selalu menyangangimu selamanya. Seperti itulah yang ku inginkan di masa mendatang. Apakah sekarang kamu mau memaafkan aku?
Ji yong ah, aku sudah lelah menulis surat ini. Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya untukmu karena mau menjadi sahabatku selama ini, kamulah yang terbaik. Oh iya, aku sungguh sudah lelah, aku harus tidur siang hari ini. Nanti mama marah kalau aku terlalu lama menulis surat ini. Lihat saja, wajahnya sudah mulai cemberut memelototiku, seperti mau memangsa diriku saja, padahal akukan masih anaknya yang belum mati hari ini. Oke ji yong ah, segini saja ya. Aku sungguh berharap kamu menjaga lee na untukku, dan di kehidupan mendatang dia akan menjadi milikmu, jadi kubiarkan kali ini kalian hidup bersama selamanya. Oke.
Ji yong ah, annyeong.
Love hyun joong.
Air mata merebak keluar dari kelopak mataku seperti air terjun. Aku terperosot diatas lantai, mencengkram kuat surat yang di tulis oleh hyun joong padaku. Bagaimana mungkin dia yang minta maaf padaku, setelah aku membuat salah padanya. Apakah aku masih dapat dikatakan sebagai sahabat yang baik untuknya? Bahkan pertemuan terakhir kamipun begitu menyedihkan~bertengkar. Ku fikir selama ini dia begitu membenciku karena diam-diam bertemu dengan lee na, tapi ternyata tidak~aku salah. Dia hanya memikirkan aku tanpa memikirkan dirinya. Bagaimana ini? bagaimana aku menghadapinya dimasa depan. Aku rasa aku tak mempunyai nyali untuk melihatnya di masa depan. Aku malu pada diriku sendiri.
“ji yong ah, gwenchana.” Lee na membantuku bangkit dari lantai yang begitu dingin. Aku dengan sekuat tenaga berusaha bangkit dari lantai dan kembali memandangi wajah hyun joong yang sudah berpakaian rapih. Memakai kemeja putih, jas hitam dan sebuah dasi melilit pada lehernya. Dia seperti pengantin yang akan bertemu dengan mempelai wanitanya~tampan.
Tanggal 18 agustus 20** pukul 00.00 AM
“ji yong ah, wake up.” Sebuah bisikian hangat terdengar lembut ditelingaku. “ji yong, seangil chukahamnida.” Aku membuka mataku, dan melihat wajah hyun joong begitu jelas di hadapanku. Aku terlonjak kaget.
“hyun joong.” Seruku langsung menyambar tubuhnya yang begitu dingin.
“seangil chukahmanida…” hyun joong melayangkan senyum andalanya.
“kamu kemana saja, kenapa kamu meninggalkan aku? Aku mengaku salah, mianhe.”
“aniyo.” Hyun joong berlari ke beranda kamarku. “ji young ah, ini untukmu.” Hyun joong mengendong seekor anak anjing di pangkuannya.
“ini untukku?” seruku kegirangan karena sudah lama ingin memelihara anjing, tapi tak dapat membelinya karena terlalu mahal.
“ini untuk kau rawat, kamu kan perlu teman baru.” Ujarnya senyum. “jangan terlalu sering menangis, nanti air matamu itu bisa kering, dan kalau kamu butuh teman bicara, dia bisa kamu ajak bicara seperti halnya padaku. Oh iya, beri dia nama gaho.”
“ah, gaho?” Ulangku.
“iya, G-A-H-O.”dia mengeja nama anjing itu.
“baiklah, aku akan memberinya nama gaho, seperti yang kamu inginkan.”
“ji yong ah, aku harus kembali. Annyeong.” Dia melambai tangan kemudian menghilang di telan kegelapan malam. Aku melihat hyun joong semakin menjauh dan terus menjauh menuju langit hitam. Disaat yang bersamaan tiba-tiba di langit muncul bintang baru yang bersinar dengan terangnya mengalahkan bintang yang lain. Mungkin para bidadaripun akan memperebutkannya disana, kerena dia terlalu tampan. Aku tersenyum lalu melambaikan tangan pada bintang baru itu, berharap kalau hyun joong akan melihatku dari tempatnya yang tertinggi. Aku berharap dia akan selalu melindungiku dari sana.
***
“hyun joongggggg....” seruku saat terjatuh dari tempat tidur. Aku mengelus-elus bokongku yang terbentur keras ke lantai.
“ji yong ah, kamu sudah bangun.” Lee na memasuki kamarku dengan celemek menempel padanya. Aku bingung, kenapa dia berada dalam rumahku.
“apa yang kamu lakukan?”
“habis pemakaman, kamu jatuh pingsan. Jadi aku di suruh bibi kim untuk menemanimu hingga sadar.” Jelasnya.
“pingsan, jadi yang tadi hanya mimpi.” Aku mengaruk-garuk kepala.
“kamu mimpi apa?” ujar lee na seraya kembali ke dapur dan menyiapkan bubur diatas meja.
“tidak, bukan apa-apa.” Dustaku, tapi otakku masih terus berkelana. Padahal perasaanku itu adalah nyata.
“manhi mogoh.” Lee na meletakkan bubur dan semangkuk sop rumput laut, “seangil chukahamnida.” Serunya.
“gomawo.” Aku melambungkan senyum termanisku padanya.
Guk..guk..
Samar-samar aku mendegar gong-gongan anak anjing, tapi aku tak tahu dari mana asalnya.
Guk..guk..
“lee na, kamu mendengar suara anak anjing, gak?” tanyaku tidak yakin.
“dengar, dari tadi malam aku mendengarnya. Tapi aku tidak yakin itu ada di rumah ini, maka kubiarkan.” Jelasnya.
“tadi malam.” Aku langsung berlari ke kamar dan membuka pintu menuju balkon.
Guk..guk...
Terlihat seekor anjing coklat sedang berada dalam kandang. Aku bingung sendiri, bagaimana anjing ini berada di sini. batinku.
“wow, lucu sekali.” seru lee na mengeluarkan anjing itu dari kandanganya, “namu siapa?” tanya seraya mengelus lembut kepalanya yang mungil.
“gaho.” Jawabku tanpa sadar.
“gaho, wow, nama yang bagus.”
Guk..guk...
The end
Tidak ada komentar:
Posting Komentar